Bahaya Kisah-Kisah Israiliyat Bagi Ajaran Islam
Islam adalah agama yang lengkap-komprehensif. Segala ajaran, arahan, dan larangannya merangkum segala aspek kehidupan manusia. Al Quran diturunkan sebagai kitabullah yang berisi aneka panduan dan hidayah bagi seluruh umat manusia –isinya lengkap dengan segala kandungan dari segi aqidah, ibadah, perundang-undangan, akhlak, sejarah dan sebagainya. Al Quran disampaikan secara mutawatir dan merupakan kitab yang sentiasa dipelihara isi kandungannya oleh Allah dari penyelewengan oleh tangan manusia-manusia yang tak bertanggung jawab.
Al-Quran adalah mukjizat Rasulullah saw. yang senantiasa selaras dalam setiap zaman, tempat, dan keadaan. Untuk fungsi tersebut, Al-Quran dilengkapi dengan penafsiran guna memudahkan kalangan awam memahami kandungan Al-Quran dan kandungannya.
Penafsiran yang dilakukan tanpa kehati-hatian memungkinkan masuknya unsur-unsur Israiliyyat dan khurafat ke dalam tafsir. Unsur-unsur Israiliyyat ini mudah terserap ke dalam kitab tafsir akibat sikap penafsir yang cenderung menganggap enteng bahan tafsir yang mereka pakai. Mereka menukilkan kisah ke dalam tafsir mereka tanpa menganalisa kesahihan cerita.
Ada banyak kalangan ahli tafsir zaman dahulu dan sekarang yang memasukkan unsur-unsur Israiliyyat dalam penafsiran mereka. Unsur-unsur tersebut biasanya banyak terserak dalam menggambarkan kisah atau cerita para nabi dan rasul. Faktor ini tak pelak lagi menjadi penyebab kelemahan dalam tafsir ma’tsur.
Kata ‘Israiliyyat’ adalah kata jamak. Mufradnya berasal dari kata Israiliyyah, yang dinisbatkan kepada Bani Israil (keturunan Israil). Sementara, Israil adalah gelar bagi Nabi Yakub as. yang berarti Abdullah atau hamba Allah. Jadi, Bani Israil atau keturunan Israil berarti keturunan Nabi Yakub as.
Keturunan Nabi Yakub as. atau Bani Israil dikenal pula dengan sebutan Yahudi. Yahudi berasal dari kataYahuda, salah satu suku dalam Bani Israil yang jumlah anggotanya paling banyak. Karena hal itu, Bani Israel identik dengan kata Yahudi, walau tidak semua orang Bani Israel termasuk dalam suku Yahuda. Suku Yahuda sendiri merupakan keturunan dari Yahuda bin Yakub, salah satu dari duabelas putera Nabi Yakub as.
Definisi Israiliyyat, menurut sebagian besar ahli tafsir, ialah kisah-kisah bernuansa Yahudi yang terserap masuk ke dalam tradisi Islam melalui tafsir Al Quran yang banyak terjadi di zaman tabi’in. Bahkan sebagian ulama tafsir dan hadits mendefinisikan Israiliyyat sebagai kisah-kisah yang sengaja diciptakan dan disusupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir Al Qur’an dengan tujuan untuk merusak kesucian Islam dan Al Qur’an (Al Zahabi 1990: 13).
Secara umum, riwayat Israiliyyat dapat digolongkan menjadi tiga jenis riwayat:
1. Riwayat Israiliyyat yang sahih dan bertepatan dengan nash-nash Al Quran dan Sunnah.
Riwayat Israiliyyat jenis ini didukung oleh kesesuaian dengan riwayat Hadits Rasulullah Saw. Tak ada keraguan dalam riwayat Israiliyyat jenis ini, sudah pasti benar dan dapat diterima. Riwayat Israiliyyat jenis ini wajib diriwayatkan dan diyakini kebenarannya.
2. Israiliyyat yang bertentangan dengan nash Al Quran dan Sunnah, serta bertentangan dengan akal sehat.
Riwayat Israiliyyat jenis ini tidak didukung oleh kesesuaian dengan riwayat Hadits Rasulullah Saw. Riwayat Israiliyyat jenis ini sangat diragukan kebenarannya dan tidak dapat diterima. Riwayat Israiliyyat jenis ini haram diriwayatkan dan wajib ditolak diyakini kebenarannya.
3. Riwayat Israiliyyat yang tidak didukung nash-nash Al Quran dan Sunnah, namun tidakbertentangan dengan akal sehat dan logika Islami.
Riwayat Israiliyyat jenis ini tidak didukung oleh kesesuaian dengan riwayat Hadits Rasulullah Saw, namun ada kemungkinan bahwa riwayat Israiliyyat jenis ini mengandung kebenaran dan dapat diterima oleh akal sehat dan logika islami. Riwayat Israiliyyat jenis ini tidak haram dan tidak pula wajib untuk diriwayatkan dan juga tidak haram juga tidak wajib diyakini kebenarannya.
Masuknya Riwayat Israiliyyat kedalam tafsir Qur’an merupakan hal yang sulit dihindari sejak zaman dahulu. Ini terkait langsung dengan asimilasi tsaqafah Bani Israel yang bermigrasi kesemenanjung Arabia ke dalam tsaqafah bangsa Arab di masa pra-Islam.bersama hijrahnya Bani Israel ke semenanjung arabia, mereka membawa pula tafsir dan landasan agama mereka yang kemudian mereka wariskan dari generasi ke generasi di dalam kalangan mereka.
Tafsir dan landasan agama Yahudi memiliki posisi kuat dalam tradisi bangsa Israel di manapun mereka berada karena mereka memiliki sebuah sistem pendidikan agama terpadu yang mereka ajarkan dalam sekolah-sekolah agama yang mereka namakan El-Midras. Tempat pendidikan itu terintegrasi pula dengan rumah peribadatan mereka, Sinagoga.
Ketika ajaran Islam dan kitabullah lahir dan tersebar di kalangan penduduk Semenanjung Arab, Rasulullah saw. membangun pusat negara Islam di Madinah al-Munawwarah. Guna mendidik para sahabat, Rasulullah saw. menyelenggarakan majelis-majelis ilmu di Masjid Madinah. Di kota Madinah terletak permukiman beberapa golongan Yahudi seperti Bani Qainuqa’, Bani Quraidzah, dan Bani Nadir. Sementara di sekitar Madinah, ada banyak umat Yahudi yang bermukim di Khaibar, Taima’ dan Fadak.
Ketika itu, ada beberapa kalangan ulama ahli Kitab di Madinah yang ikut memeluk Islam, seperti Abdullah bin Salam ra. Beliau dan orang semacamnya menjadi sumber rujukan bagi para sahabat untuk menanyakan secara rinci beberapa kisah yang ada dalam kitab Al Quran dan kebetulan juga ada didalam Taurat.
Walau begitu, para sahabat tidak mempercayai mentah-mentah apa yang diceritakan kepada mereka. Malah mereka sering menyangkal kisah-kisah yang tak masuk akal dengan dalil akal dan juga syara’. Mereka hanya menerima apa yang bisa diterima oleh akal sehat dan syara’ dan menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan keduanya. Selainitu, para sahabat membiarkan beberapa perkara yang tidak jelas tentang benar atau salahnya.
Ada beberapa kisah Israiliyyat yang kemudian menyebabkan kekeliruan dan mengganggu kemurnian ajaran Islam. Kisah-kisah tersebut biasanya yang berbumbu dongeng dan khurafat, yang bertentangan dengan akal sehat dan Syara’. Implikasi dari kisah-kisah macam ini sangat dalam, misalnya:
1. Dalam Riwayat Israiliyyat terdapat unsur-unsur penafikkan terhadap sifat maksum para Nabiyullah dan Rasulullah, serta menggambarkan mereka dengan imaji kekejian dan aib yang tidak layak bagi manusia yang dimuliakan oleh wahyu Allah. Sebagai contoh misalnya kisah bahwa Nabi Nuh as. minum anggur sampai mabuk dan telanjang, kisah bahwa Nabi Luth as. berzina dengan dua orang putri kandungnya, kisah bahwa Nabi Daud as. menzinahi istri panglimanya -Aurya, kisah bahwa Nabi Sulaiman as. menyembah patung-patung dan membangun kuil-kuil pemujaan untuk menyenangkan istri-istrinya,
2. Riwayat-Riwayat Israiliyyat berpotensi menyimpangkan kepercayaan umat Islam terhadap sebagian ulama salaf dari kalangan sahabat dan Tabi’in. Ada banyak dongeng Israiliyyat yang riwayatnya dinisbatkan kepada kalangan salafus salih yang terkenal karena keadilannya dan reputasinya yang dapat dipercaya. Sebagian dari mereka bahkan terkenal di kalangan orang-orang Islam dengan tafsir dan Hadits yang diriwayatkannya. Mereka yang namyanya dicatut antara lain Abu Hurairah ra., Abdullah bin Salam ra., Ka’ab Al Ahbar, dan Wahab bin Munabih.
3. Riwayat Israiliyyat memiliki potensi untuk memalingkan manusia dari tujuan Al Quran yang sesungguhnya dan dapat melalaikan umat dari pelajaran dan pemahaman maksud ayat-ayat Al-Quran, melalaikan umat dari pengambilan manfaat dan iktibar, serta nasihat-nasihat yang terkandung di dalamnya atau pemahaman tentang hukum-hukum yang terdapat di dalamnya. Riwayat Israiliyyat memiliki potensi memalingkan umat kepada perkara sia-sia. Misalnya membahas warna anjing Ashabul Kahfi dan namanya, membahas kayu bahan tongkat Nabi Musa as., membahas tentang nama anak kecil yang dibunuh oleh Khidir dan sebagainya.
Inilah akibat Riwayat Israiliyyat terhadap aqidah umat Islam dan juga terhadap kesucian ajaran Islam. Kaum Yahudi selalu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengikis aqidah dan melemahkan kepercayaan umat Islam terhadap Al-Quran dan Al-Hadits. Mereka juga berusaha menggoyang kepercayaan umat Islam terhadap golongan salafussalih yang memiliki peran dalam memikul risalah umat Islam dan menyebarkannya ke segala penjuru dunia. Karena itu, umat Islam perlu mencermati dan memperhatikan serta mempertimbangkan penyerapan Riwayat Israiliyyat dalam tafsir-tafsir dan menyaringnya (Al-Zahabi 1990: 29-34).
Sumber:
•Muhammad Hussin Al-Zahabi. 1990. al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadith. Qaherah:Maktabah Wahbah.
•Muhammad Hussin Al-Zahabi. t.th. al-Tafsir wa al-mufassirun. Qaherah: Maktabah Wahbah.
•Mazlan Ibrahim & Ahmed Kamel Mohamad. 2004. Israiliyyat dalam Kitab Tafsir Anwar Baidhawi.Selangor: Jabatan Usuluddin dan Falsafah Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia
•Ibn Khaldun. Abd al-Rahman b. Khaldun al-Maghribi. 1968. Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar Maktabah al-Hayat.
Kisah-kisah Israiliyat dalam Pandangan Islam
Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaahu
Israiliyat adalah kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara.
Kisah-kisah Israiliyyat terbagi menjadi tiga macam:
1. Kisah yang dibenarkan oleh Islam, maka hal tersebut adaah haq. Contohnya: Imam Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayaAtkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia mengatakan: “Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami, pent.) bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meletakkan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: ‘Akulah Raja.’’ Mendengar hal tersebut, tertawalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga nampak gigi-gigi geraham beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِيْنِهِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)
2. Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dista, maka ini adalah bathil. Contohnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu orang Yahudi apabila ‘mendatangi’ istrinya dari belakang berkata: ‘Anaknya nanti bermata juling’, maka turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu menghendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223)
3. Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya, maka kita wajib mendiamkannya. Berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu Ahlul Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya untuk orang-orang Islam dengan bahasa Arab, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian benarkan Ahlul Kitab dan jangan kalian dustakan mereka namun katakanlah: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ (Kami beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan pada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang telah diturunkan kepada kalian).”
Bercerita dengan kabar seperti ini boleh apabila tidak ditakutkan menyebabkan terjatuhnya seseorang ke dalam larangan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat dan tidak mengapa kalian menceritakan tentang Bani Israil. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari)
Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari Ahlul Kitab dalam hal ini tidak mempunyai manfaat untuk urusan agama, seperti penetuan warna anjing Ashhabul Kahfi dan yang lainnya.
Adapun bertanya kepada Ahlul Kitab tentang suatu perkara agama maka hukumnya haram, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab karena mereka tidak akan memberi petunjuk bagi kalian dan sungguh mereka telah tersesat, karena bisa jadi kalian akan membenarkan sesuatu yang batil atau mendustakan yang haq. Seandainya Musa ‘alaihis salaam hidup di antara kalian, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku.”
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwa dia berkata: “Wahai kaum muslimin! Bagaimana kalian bisa bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab sedangkan Al-Qur’an yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi kalian telah menceritakan sesuatu yang benar dan murni tentang Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberitahukan kepada kalian bahwa Ahlul Kitab telah mengganti dan merubah isi Al-Kitab kemudian mereka menulisnya sendiri dengan tangan-tangan mereka, lalu berkata ‘Ini berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla’, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya. Tidakkah pengetahuan kalian tentang (pengkhiatan) mereka itu memalingkan kalian dari bertanya kepada mereka. Lalu, sekali-kali tidak demi Allah! Tidak pernah kami melihat seorangpun dari Ahli Kitab bertanya kepada kalian tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian.”
Sikap Ulama tentang Kisah-kisah Israiliyat
Para ulama terutama ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam menyikapi berita-berita israiliyat, mereka terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah ini dengan menyebutkan sanad-sanadnya dan berpandangan bahwa dengan menyebutkan sanad-sanadnya maka telah gugur tanggung jawabnya. Di antara mereka adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullaahu.
2. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah israiliyat dan kebanyakan tanpa menyertakan sanadnya, maka ibarat (mereka) adalah pencari kayu bakar di malam hari.[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaahu berkomentar tentang kitab Tafsir Al-Baghawi rahimahullaahu: “Itu adalah ringkasan dari Tafsir Ats-Tsa’labi, hanya saja Al-Baghawi menjaga tafsirnya dari hadits-hadits maudhu’ (palsu) dan pemikiran-pemikiran yang bid’ah.” Sedangkan Syaikhul Islam rahimahullâhu mengomentari tentang Tsa’labi bahwa dia adalah pencari kayu bakar di malam hari karena Tsa’labi menukilkan semua yang dia dapati dari kitab-kitab tafsir baik shahih, dha’if ataupun maudhu’.
3. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah ini lalu ada ulama yang mengkritik sebagian riwayatnya bahwa itu dhaif atau mungkar. Contohnya Ibnu Katsir.
4. Di antara mereka ada yang berlebihan dalam menolak kisah-kisah israiliyat dan sama sekali tidak menyebutkan dalam kitab tafsir Al-Qur’an-nya. Contohnya Muhammad Rasyid Ridha.
Footnote:
[1] Ini bahasa kiasan yang sering dipakai ulama kita bagi seorang yang menempuh langkah atau bicara asal-asalan yang akan membahayakan dirinya, sebab malam gelap boleh jadi dia mengambil ular sedangkan dikiranya kayu bakar, wallahu a’lam, ed.
(Dinukil dari أصول في التفسير karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia: Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an, penerjemah: Muhammad Qawwam, Lc., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427H/Pebruari 2006M, hal. 89-92, untuk http://almuslimah.co.nr)
Baca juga:
• Ayat-Ayat Makiyah dan Madaniyah
• Mukadimah Ilmu Hadits
0 Comments:
Posting Komentar