The Da Vinci Code karya Dan Brown bukanlah buku pertama yang mengantar publik ke diskusi yang selama ini hanya menarik perhatian segelintir sarjana alkitab. Tafsir ala post-modern terhadap temuan arkeologis baru bukanlah hal baru. Pembicaraan soal itu makin menghangat dalam lima dekade ini, seiring dengan ditemukannya “Naskah Gulungan Laut Mati” atau The Dead Sea Scrolls di sebuah gua dekat Qumran di Gurun Judea tahun 1950-an, dan teks Gereja Koptik di kawasan Nag Hammadi Mesir, 1945.
Tulisan dan fragmen itu ternyata bercerita soal Yesus dalam konteks pemahaman beragam komunitas. Isinya diluar wilayah keempat injil atau kitab Perjanjian Baru yang selama dua abad ini resmi diakui oleh gereja. Seperti kita tahu, keempat injil itu adalah injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Para sarjana kemudian menyebut temuan baru itu sebagai injil Maria, Petrus, Philipus, Thomas, dan Q. Dan sepertinya, tidak ada injil lain pendukung injil yang sekarang. Injil-injil dari luar yang semuanya sekarang tidak mendukung ketuhanan Yesus, oleh gereja dianggap injil “apokrifa” atau injil lemah/diragukan.
Nah, di mata Dan Brown, teks baru itu merupakan salah satu bukti adanya ajaran yang selamat dari ‘tekanan’ kekaisaran Roma di bawah Konstantin. Namun para sarjana Kristen menilai temuan baru itu tak bisa dipertentangkan dengan isi keempat injil resmi. Gereja resmi “mengenyampingkannya”, karena teks-teks itu secara sepihak oleh gereja ‘dianggap’ telah ditulis dalam rentang waktu yang jauh dari masa kehidupan Yesus.
Kemudian klaim Brown soal keilahian Yesus yang baru muncul setelah Konsili Nicaea ternyata tak cocok dengan dokumen gereja perdana yang menyebutkan bahwa orang Kristen sejak awal telah percaya bahwa Yesus adalah Raja, Tuhan, dan Penyelamat. Memang, setelah Yesus disalibkan, ekspresi awal mengenai kekristenan beragam sekali.
Semua ini bermula dari ketertarikan Brown pada Leonardo Da Vinci dan misteri yang tersembunyi di dalam lukisan-lukisannya. Saat itu dia sedang belajar sejarah seni di Universitas Seville di Spanyol. Bertahun-tahun kemudian, ketika dia melakukan riset untuk novel ketiganya, Angels & Demons, dan arsip-arsip rahasia Vatikan, dia berhadapan dengan enigma Da Vinci lagi. Sejak itulah secara khusus dia tertarik pada lukisan Da Vinci. Dalam sebuah wawancara, Brown mengatakan bahwa diperlukan riset selama setahun sebelum dia menulis The Da Vinci Code.
Brown bukan tidak menyadari mengenai besarnya potensi kontroversi yang terkandung dalam novelnya. Ketika berbicara di sebuah forum di Concord, New Hampshire, Mei tahun lalu, ia malah mengatakan sempat mempertimbangkan untuk memasukkan pula dugaan bahwa Yesus selamat dari penyaliban. Ia menyimpulkan itu berdasar “sumber-sumber yang kredibel”. Ia akhirnya mengabaikan itu karena “kelewatannya tiga atau empat langkah lebih jauh.” Brown memang mengangkat topik-topik gereja yang jauh lebih gemerlap. Disengaja atau tidak, novel Brown yang mencampurkan fakta dan fiksi itu telah membuka kembali sebuah episode kontroversi gereja yang demikian panjang.
Secara merendah, Brown mengakui memilih topik yang kontroversial ini untuk alasan pribadi : ”Terutama sebagai eksplorasi atas agama saya sendiri dan gagasan saya tentang agama. Saya yakin bahwa satu alasan mengapa buku ini menjadi kontroversial adalah bahwa agama adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didiskusikan dalam istilah-istilah kuantitatif. Saya menganggap diri saya sebagai siswa dari banyak agama. Niat tulus saya adalah bahwa The Da Vinci Code, selain menghibur pembaca, juga menjadi pintu pembuka bagi pembaca untuk mengawali eksplorasi agama bagi mereka sendiri.”
Uniknya, The Da Vinci Code ternyata tidak menuai hujatan dari Vatikan. Meski isinya panas dan meruntuhkan akidah kristiani, fatwa mati dan pembakaran buku seperti pernah dilakukan gereja pada abad pertengahan tak terjadi. Bahkan, menurut penerbitnya, Doubleday, kini Brown sedang fokus pada karya terbarunya. Mantan guru itu dalam situsnya di internet menyatakan terbuka atas debat yang akan bermunculan menghadapinya.
Apakah ketidakpedulian gereja mencerminkan bahwa kontroversial itu memang pernah ada?????
0 Comments:
Posting Komentar